Dahulu
Rasulullah pernah mewasiatkan umatnya agar berpegang dengan kuat pada
ajaran (Sunnah) beliau. Namun kini umatnya lebih banyak yang
meninggalkan ajaran nabinya, meski di sana menanti adzab yang keras dari
Allah.
Sunnah
Nabi, sebuah istilah yang kerap kita mendengarnya. Bahkan sering pula
mengucapkan karena Sunnah (petunjuk/ajaran Nabi) adalah sesuatu yang
menjadi landasan hidup kita sebagai penganut ajaran Islam. Kita semua
sepakat untuk menjunjung tinggi dan mengagungkan Sunnah dan bersepakat
pula bahwa yang merendahkannya berarti menghinakan Islam dan ajaran
Nabi.
Namun
jika kita menengok realita yang ada, apa yang dilakukan kaum muslimin
dalam mengagungkan Sunnah Nabi nampaknya sudah jauh dari yang
semestinya. Bahkan keadaannya sangat parah. Tidak tanggung-tanggung, di
antara mereka ada yang menolak dengan terus-terang Sunnah yang tidak
mutawatir1 dan mengatakan hadits ahad bukan hujjah (dalil) dalam masalah
akidah.
Ada
pula yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi secara total dengan
berkedok mengikuti Al Qur’an saja. Padahal Al Qur’an tidak mungkin
dipisahkan dari Sunnah. Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa saja
yang datang dari Nabi yaitu Sunnahnya.
Bentuk
yang lebih parah dari ‘sekedar’ menolak adalah mengolok-olok Sunnah dan
orang-orang yang mencoba berjalan di atasnya. Ada pula yang dengan
terang-terangan menolak hadits Nabi karena dinilai tidak sesuai dengan
akal.
Sangat
disayangkan sikap-sikap seperti ini justru sering dimiliki oleh
orang-orang yang terjun ke kancah dakwah. Padahal lisan mereka juga
mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan Sunnah.
Mengagungkan
Sunnah adalah perkara yang besar dan bukan sekedar isapan jempol. Ia
butuh bukti nyata dan praktek dalam kehidupan. Namun kini keadaannya
justru sebaliknya, banyak orang menolaknya.
Nabi telah mengisyaratkan akan datangnya keadaan ini:
“Sungguh-sungguh
aku akan dapati salah seorang dari kalian bertelekan (tiduran?
leyeh-leyeh?) di atas dipannya, (lalu) datang kepadanya sebuah perintah
dari perintahku atau larangan dari laranganku lalu dia mangatakan: ‘Saya
tidak tahu itu, apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah yang kami
ikuti.’”(Shahih HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dari Abu Rafi’, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 7172]
Makna Sunnah Nabi
Yang
dimaksud dengan Sunnah Nabi adalah petunjuk dan jalan yang ditempuh
oleh Rasulullah ?. Di dalamnya mencakup perkara-perkara yang hukumnya
wajib maupun sunnah, yang berkaitan dengan akidah maupun ibadah dan yang
berkaitan dengan muamalah maupun akhlak.
Para
ulama Salaf mengatakan bahwa Sunnah artinya mengamalkan Al Qur’an dan
hadits serta mengikuti para pendahulu yang shalih serta ber-ittiba’
(berteladan) dengan jejak mereka. (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah,
2/428, Ta’dhimus Sunnah, 18)
Ibnu
Rajab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya
adalah jalan yang ditempuh dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan
apa yang dijalani oleh Nabi dan para khalifahnya baik keyakinan,
amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah secara sempurna.
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28)
Itulah
yang kami maksud dalam pembahasan ini sehingga kami tidak terpaku pada
istilah Sunnah menurut ahli fikih atau sunnah menurut ahli ushul fikih
atau Sunnah dalam arti akidah, tetapi mencakup itu semua.
Sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi:
“Wajib atas kalian berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin…”(Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 2549]
Perintah Memuliakan Sunnah
Allah berfirman:
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al Hasyr: 7)
Asy
Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Perintah ini mencakup
prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya baik lahir maupun batin dan
bahwa yang dibawa oleh Rasul maka setiap hamba harus menerimanya dan
tidak halal menyelisihinya. Apa saja yang disebut oleh Rasul seperti apa
yang disebut oleh Allah, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk
meninggalkannya dan tidak boleh mendahulukan ucapan siapapun atas ucapan
Rasul.” (Taisir Al Karimirrahman, 851)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul berarti ia mentaati Allah.” (An Nisa’: 80)
Maksudnya,
setiap orang yang taat kepada Rasul dalam perintah dan larangan berarti
ia taat kepada Allah karena Nabi tidak memerintah atau melarang kecuali
dengan perintah dari Allah. Ini berarti pula terlindunginya Nabi dari
kesalahan karena Allah memerintahkan kita untuk taat kepadanya secara
mutlak. Kalau seandainya beliau tidak ma’shum (terjaga dari salah) pada
apa yang beliau sampaikan dari Allah, tentu Allah tidak akan
memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak memujinya. (Taisir
Al Karimirrahman, 189 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)
“Dan
tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan
Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (Al Ahzab: 36)
Ibnu
Katsir mengatakan: “Ayat ini umum pada seluruh perkara yaitu jika Allah
dan Rasul-Nya menetapkan hukum sebuah perkara maka tidak boleh bagi
seorangpun untuk menyelisihinya. Tidak ada peluang pilihan, ide atau
pendapat bagi siapapun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498)
Ketiga
ayat ini menunjukkan secara jelas bagaimana semestinya kita menempatkan
Sunnah Nabi, yakni wajib mengambilnya dan merupakan keharusan yang
tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah tersebut
sebagai pedoman dalam melangkah melakukan ketaatan kepada Allah. Hal itu
karena Allah jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas Al Qur’an sebagaimana
dalam firman-Nya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Selanjutnya kita lihat bagaimana hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti Sunnah, di antaranya:
Dari
Al Irbadh bin Sariyah ia berkata: “Rasulullah memberikan sebuah nasehat
kepada kami dengan nasehat yang sangat mengena, hati menjadi gemetar
dan matapun menderaikan air mata karenanya, maka kami katakan:’ Wahai
Rasullullah seolah-olah ini nasehat perpisahan maka berikan wasiat
kepada kami’, lalu beliau katakan: ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa
kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah
seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku
ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian bepegang
teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin, gigitlah
dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara
yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR
Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jami’, 2549)
Demikian
Nabi mewasiatkan kepada para sahabat beberapa wasiat penting di
antaranya perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnahnya dan Sunnah
para Khulafa Ar Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh untuk menggigitnya
dengan gigi kita yang paling kuat. Di masa sahabat saja Rasulullah telah
berwasiat demikian, lebih-lebih di zaman sepeninggal beliau di mana
kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk dengan munculnya
berbagai perselisihan dan bid’ah pada perkara-perkara yang prinsipil.
Datang
beberapa orang kepada istri Nabi menanyakan amalan yang dilakukan oleh
Nabi di saat sendirian. Setelah mendengar jawabannya merekapun
menganggap diri mereka sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh Nabi
sehingga masing-masing menetapkan azamnya.
Salah
satu dari mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi wanita.” Yang lain
mengatakan: “Saya tidak akan makan daging,” dan yang lain mengatakan:
“Saya tidak akan tidur di kasur.” Sampailah berita itu kepada Nabi maka
beliaupun berpidato dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya lantas
berkata:
“Mengapa
ada orang–orang yang mengatakan demikian dan demikian, (padahal) saya
bangun shalat malam dan saya juga tidur, saya puasa dan saya terkadang
tidak berpuasa, dan saya juga menikahi wanita. Maka barangsiapa yang
tidak suka dengan Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (Shahih, HR Muslim, 9/179)
Coba
kita amati kisah ini. Beberapa sahabat datang dengan maksud baik, lalu
mereka berazam (berkeinginan kuat) untuk meninggalkan beberapa
kenikmatan dengan tujuan memperbanyak ibadah sehingga bisa mendekati
amalan Nabi. Namun pada niatan itu mengakibatkan ditinggalkannya
beberapa Sunnah, petunjuk dan jalan Nabi yaitu menikah, memberikan hak
jasmani dengan tidak puasa setiap hari dan tidak bangun sepanjang malam
walaupun untuk ibadah.
Maka
Nabi menganggap hal itu tidak baik sehingga mengatakan: “Barangsiapa
yng benci terhadap Sunnahku maka bukan dari golonganku.”
Sekedar
niat baik saja tidak cukup bila tanpa disertai cara yang baik pula.
Kalau keadaan mereka saja seperti ini lalu bagaimana dengan yang sengaja
meninggalkan Sunnah Nabi dengan niat jelek? Lalu bagaimana lagi yang
menghina Sunnah Nabi atau bahkan mengingkarinya?!
Demikian
ayat dan hadits mendudukkan Sunnah Nabi yaitu pada tinggkat yang sangat
tinggi. Oleh karenanya kita dapati para sahabat Nabi benar-benar
menghargai dan menjadikannya sebagai panutan hidup bahkan sangat takut
jikalau mereka menyelisihi Sunnah sehingga menyebabkan sesatnya mereka
dari jalan yang lurus.
Kita
dapati Abu Bakar Ash Shiddiq mengatakan: “Saya tidak meninggalkan
sesuatu yang Rasulullah melakukannya kecuali aku pasti melakukannya juga
dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya sesat.”
Wahai
saudaraku…orang yang paling jujur (Abu Bakar) khawatir terhadap dirinya
untuk tersesat jika menyelisihi sesuatu dari jalan Nabi. Maka bagaimana
jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya mengolok-olok Nabi mereka
dan perintah-perintahnya bahkan berbangga dengan menyelisihi dan
mengolok-oloknya.
Kami
memohon kepada Allah perlindungan dari perbuatan salah dan memohon
keselamatan dari amal yang jelek. Demikian dikatakan oleh Ibnu Baththah,
seorang ulama akidah yang hidup pada abad keempat hijriyah dalam kitab
Al Ibanah,1/246, dan Ta’dhimus Sunnah, 24. Lalu bagaimana jika beliau
hidup di jaman kita? Apa yang kira-kira akan beliau katakan?
Seorang
tabi’in bernama Abu Qilabah mengatakan: “Jika kamu ajak bicara
seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari ini
dan datangkan Kitabullah.’ Maka ketahuilah bahwa dia sesat.”(Tabaqat
Ibni Sa’ad, 7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25)
Demikian
pula yang enggan menerima Sunnah Nabi karena lebih cenderung kepada
pendapat seseorang maka dia berada dalam bahaya besar. Seperti dikatakan
Abdullah bin Abas ketika datang kepadanya seseorang yang yang
seolah-olah mengadu Sunnah Nabi dengan pendapat Abu Bakar dan Umar maka
Abdulllah bin Abbas mengatakan: “Hampir-hampir turun kepada kalian
bebatuan dari langit, aku katakan Rasullullah berkata demikian dan
kalian katakan berkata Abu Bakar dan Umar demikian?!” (Shahih, riwayat
Al Bukhari)
Maka
sangat mengherankan kalau seseorang tahu Sunnah lalu meninggalkannya
dan mengambil pendapat yang lain sebagaimana dialami oleh Imam Ahmad:
“Saya merasa heran dari sebuah kaum yang tahu sanad hadits dan
keshahihannya lalu pergi kepada pendapat Sufyan (maksudnya Sufyan Ats
Tsauri-red) padahal Allah berfirman: Maka hendaklah berhati-hati orang
yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa
adzab yang pedih (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah
adalah syirik.” (Fathul Majid, 466).
Demikian
pula suatu saat Imam Syafi’i ditanya tentang sebuah masalah maka beliau
mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian
dari Nabi. Maka si penanya mengatakan: “Wahai Imam Syafi’i, apakah
engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka beliau langsung
gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan
langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi
kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran
dan penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’dhimus Sunnah, 28).
Dalam
kesempatan lain beliau ditanya dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau
gemetar dan menjawab: “Apakah engkau melihat aku seorang Nasrani?
Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah engkau melihat aku
memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani
memakainya-red)? Saya meriwayatkan hadits dari Nabi lalu saya tidak
mengambilnya sebagai pendapat saya?!” (Miftahul Jannah, 6)
Demikian
tinggi nilai Sunnah Nabi dalam dada mereka sehingga rasanya sangat
mustahil mereka meninggalkannya. Bahkan tidak terbayang ada seorang
muslim yang berani meninggalkan Sunnah Nabi yang telah diketahui.
Pahala bagi Orang yang Berpegang dengan Sunnah Nabi
Karena
pentingnya mengagungkan Sunnah Nabi sekaligus beratnya tantangan bagi
yang mengagungkannya maka Allah sediakan pahala yang besar bagi mereka
yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya tinggi-tinggi. Dalam
sebuah hadits disebutkan:
“Sesungguhnya
di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu
seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi)
pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya:
“Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah” Rasulullah menjawab: “Pahala
limapuluh dari kalian.” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494)
Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:
“Sesungguhnya
Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali kepada keasingan
sebagaimana awalnya maka maka bergembiralah bagi orang-orang yang
asing.” Rasulullah ditanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Jawab
beliau: “Yaitu yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak.” (Shahih HR Abu Amr Ad Dani dari sahabat Ibnu Mas’ud, lihat Silsilah Ash Shahihah no. 1273)
Demikian pula Allah menjamin hidayah bagi orang-orang yang mengikuti Nabi dalam firman-Nya:
“Dan jika kalian mentaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54)
Hidayah
untuk menempuh jalan yang lurus baik dengan ucapan atau perbuatan, di
mana tidak ada jalan menuju kepada hidayah kecuali dengan taat kepada
Rasulullah. Adapun tanpa itu maka tidak mungkin, bahkan mustahil (Taisir
Al Karimirrahman, 572-573).
Semakna dengan ayat itu hadits Nabi yang berbunyi:
“Sesungguhnya
setiap amalan itu ada masa giatnya dan setiap giat itu ada masa
jenuhnya maka barangsiapa yang jenuhnya itu kepada Sunnahku berarti ia
mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang masa jenuhnya itu kepada
selainnya maka ia binasa.” (Shahih, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari
Ibnu Amr, lihat Shahihul Jami’ no: 2152)
Selama
seseorang berada di atas Sunnah Nabi maka dia tetap berada di atas
istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti ia telah melenceng
dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar: “Manusia
tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak
Nabi.” ( Riwayat Al Baihaqi, lihat Miftahul Jannah no.197).
‘Urwah mengatakan: “Mengikuti Sunnah-Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no: 198)
Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi maka dia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no. 200)
1)
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam
jumlah yang banyak dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta atau
kebetulan sama-sama berdusta sedang hadits ahad adalah yang selain itu.
Ahlussunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih harus diterima dan
diamalkan. (lihat An Nukat ‘Ala Nudzhatinnadhar, 53-57)
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc Judul : Menghidupkan Sunnah Nabi yang Kian Terasing
duniajilbabindonesia 69p · 488 weeks ago