Home » » MAKNA WASILAH Dan AT-TAWASSUL

MAKNA WASILAH Dan AT-TAWASSUL

Posted by Blog Kaum Ghurabah on Monday, March 23, 2015


Sebetulnya penjelasan masalah ini sudah bukan masalah baru. Namun sayangnya, masih sangat banyak sekali manusia yang ngeyel mempermasalahkannya. itulah mahalnya Hidayah…

Penjelasan dalam hal masalah berdoa melalui wasilah / perantara ini sudah banyak yang mengupas secara tuntas, baik dari sisi pendalilan penyandaran kepada orang yang sudah mati, benda – benda mati, atau pun yang di klaim sebagai para wali.

Tapi dalam rangka mengingatkan saudara, kawan kerabat, maka tak salah jika hal ini Abah sampaikan pula.

ARTI WASILAH SECARA BAHASA
Wasilah secara bahasa memiliki beberapa arti, yaitu: qurbah (perbuatan untuk mendekatkan diri); perantara; apa yang dapat menghantarkan dan mendekatkan kepada sesuatu; berharap; permintaan; kedudukan dekat raja; dan derajat. Lihat makna-makna ini di dalam kamus-kamus bahasa Arab, seperti: An-Nihayah, Al-Qamus, Mu’jamul Maqayis, dan lainnya.

ARTI WASILAH DI DALAM AL-QUR’AN
Perkataan wasilah disebutkan dua kali di dalam Al-Qur’an.

Pertama: di dalam firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.[Al Maaidah 5:35]

Imamnya para mufassirin, Al-Hafizh Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata tentang makna “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”: Dan carilah qurbah (apa yang mendekatkan diri) kepadaNya dengan mengamalkan apa yang menjadikanNya ridha”. Ar-Raghib Al-Ash-fahani berkata di dalam Mufradatnya tentang makna firman Allah “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”: Dan hakekat wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah: menjaga jalanNya dengan beramal dan beribadah”.

Imam Ibnu Katsir menukilkan dari Ibnu Abbas tentang makna wasilah pada ayat itu adalah: qurbah (apa yang mendekatkan diri kepada Allah). Demikian juga Ibnu Katsir menukilkan pendapat Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan lainnya. Ibnu Katsir juga menukilkan perkataan Qatadah tentang ayat tersebut, yaitu: “Hendaklah kamu mendekatkan diri kepada Allah dengan metaatiNya dan beramal dengan apa-apa yang menjadi keridhaanNya.”

Kemudian Ibnu Katsir berkata: “Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan padanya di antara mufassirin…wasilah adalah sesuatu yang digunakan untuk menghantarkan mencapai tujuan”

Ayat kedua pada firman Allah.

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti” [Al Israa' 17:57]

Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud, telah menyatakan sebab turunnya ayat ini yang menjelaskan maknanya, dia berkata: “Ayat ini turun mengenai sekelompok orang Arab yang beribadah/menyembah sekelompok jin, kemudian jin-jin itu masuk Islam, sedangkan manusia yang menyembah mereka tidak mengetahui”. [HSR. Muslim, Syarh Muslim 8/245; Bukhari semacamnya, Fathul Bari 8/320-321]

Ibnu Hajar berkata: “Yakni manusia yang menyembah jin terus menyembah jin, sedangkan jin tidak meridhainya, bahkan mereka masuk Islam. Jin itulah yang mencari wasilah (sarana/jalan) kepada Rabb mereka. Inilah yang dipegangi dalam penafsiran ayat ini.” [Fathul Bari 10/12-13]

Syeikh Al-Albani berkata: “Inilah jelas, bahwa yang dimaksudkan wasilah adalah apa yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, oleh karena itulah Allah berfirman: “mereka mencari”, yaitu mereka mencari apa yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, yaitu amalan-amalan yang shalih.”

Dan amalan itu menjadi shalih dan diterima di sisi Allah, jika memenuhi dua syarat –sebagaimana telah maklum-, yaitu: pelakunya meniatkan untuk mencari wajah Allah semata, dan kedua: sesuai dengan apa yang Allah syari’atkan di dalam kitabNya atau dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Jika kehilangan salah satu dari keduanya, maka amalan itu tidak menjadi amalan shalih dan diterima oleh Allah.

ARTI TAWASSUL
Sedangkan tawassul adalah melakukan wasilah, yaitu melakukan apa yang dapat medekatkan diri kepada sesuatu. Tetapi istilah tawassul sering dimaksudkan dengan arti: berdoa kepada Allah dengan perantara.

TAWASSUL MASYRU’ / YANG DI SYARI’ATKAN.
Tawassul ada yang diajarkan oleh agama, yang disebut dengan istilah tawassul masyru’ (tawassul yang disyari’atkan), sehingga dapat diamalkan. Ada juga yang tidak diajarkan oleh agama, sehingga tidak boleh diamalkan, karena tawassul termasuk ibadah, sedangkan ibadah haruslah berdasarkan tuntunan. Tawassul yang tidak ada tuntunannya ini disebut tawassul mamnu’ (tawassul yang terlarang).

Adapun jenis-jenis tawassul masyru’ -secara ringkas- adalah:
1. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara nama Allah atau sifatNya.

وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu” [Al A'raaf 7:180]

2. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara amalan shalih yang dilakukan oleh orang yang berdoa.

رَّبَّنَآإِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ

“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu):”Berimanlah kamu kepada Rabbmu”; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakt”. [Al Imraan 3:193]

3. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara doa orang shalih yang masih hidup.

عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِِ ادْعُ الهَت أَنْ يَسْقِيَنَا فَتَغَيَّمَتِ السَّمَاءُ وَمُطِرْنَا حَتَّى مَا كَادَ الرَّجُلُ يَصِلُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَلَمْ تَزَلْ تُمْطَرُ إِلَى الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ فَقَامَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ غَيْرُهُ فَقَالَ ادْعُ الهَا أَنْ يَصْرِفَهُ عَنَّا فَقَدْ غَرِقْنَا فَقَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا فَجَعَلَ السَّحَابُ يَتَقَطَّعُ حَوْلَ الْمَدِينَةِ وَلاَ يُمْطِرُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ

“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhotbah pada hari jum’at, lalu seorang lelaki berdiri dan berkata: “Wahai Rasulallah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hujan kepada kami”. Maka langitpun mendung, dan kami mendapatkan hujan, sehingga hampir-hampir lelaki tadi tidak sampai ke rumahnya. Terus-menerus hujan turun sampai jum’at berikutnya. Maka lelaki itu, atau lainnya, berdiri lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia memalingkankan hujan dari kami, karena kami telah kebanjiran”. Maka Rasulallah n berdoa: “Wahai Allah jadikanlah hujan sekitar kami, jangan kepada kami. Maka mulailah awan menyingkir di sekitar kota Madinah, dan tidak menghujani penduduk Madinah” [HSR. Bukhari]

TAWASSUL MAMNU’
Setelah menyebutkan ketiga jenis tawassul masyru’ di atas Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Adapun tawassul- tawassul selain ini, maka terjadi perselisihan. Sedangkan yang kami yakini dan kami jadikan agama kepada Allah adalah bahwa hal itu tidak boleh, tidak disyari’atkan. Karena tidak ada dalil padanya yang dapat menegakkan hujjah, dan telah diingkari oleh para ulama peneliti pada generasi-generasi Islam yang silih berganti. Walaupun sebagian ulama telah membolehkan sebagian (jenis) tawassul, imam Ahmad membolehkan bertawassul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, sedangkan imam Syaukani membolehkan bertawassul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan lainnya, dari para nabi dan orang-orang shalih, tetapi kami –sebagaimana kebiasaan kami di dalam seluruh perkara-perkara yang diperselisihkan- hanyalah mengikuti dalil yang ada, kami tidak fanatik pada manusia, kami tidak cenderung kepada seorangpun kecuali karena kebenaran yang kami lihat dan kami yakini. Sedangkan dalam masalah tawassul, kami melihat bahwa kebenaran bersama orang-orang yang melarang bertawassul dengan makhluk.

Dan kami tidak melihat dalil shahih yang dapat dipegangi bagi orang-orang yang membolehkannya. Dan kami menuntut mereka untuk membawakan nash shahih dan nyata dari Al-Kitab dan As-Sunnah tentang bertawassul dengan makhluk, tetapi sangat jauh mereka mendapati sesuatu yang menguatkan pendapat mereka, atau menyokong dakwaan mereka, kecuali kesamaran-kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan, yang kami akan membantahnya setelah ini.” [Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Al-Albani, hal: 46-47]


Gabung Disini

Directory Blog Salaf

My Blog List

Powered by Blogger.

Arsip Blog

.comment-content a {display: none;}