Muhammad
bin Ishaq atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H)
merupakan salah satu murid dari Az-Zuhri. Selain penulis kitab Sirah, ia pun
dikenal sebagai penulis kitab Maghazi (kisah-kisah peperangan).
Kitab
Sirah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq yang sampai pada kita adalah berjudul
Sirah Ibnu Hisyam yang merupakan mukhtashar/ringkasan dari
Sirah Ibnu Ishaq.
Menurut
para ulama muhaqqiq, riwayat-riwayat yang ada dalam kitab Sirah Ibnu
Ishaq, berisi hadits-hadits hasan yang bercampur dengan hadits-hadits
dla’if. Riwayat-riwayat yang ia (Ibnu Ishaq) bawakan tidaklah sampai pada
derajat shahih, namun hanya sampai pada derajat hasan saja dengan syarat ia
menyatakan secara terang (sharih) penyimakan haditsnya [1] karena ia seorang perawi
mudallis.
Ibnu
‘Ady berkata :
وقد
فتشت أحاديثه فلم أجد في أحاديثيه ما يتهيأ أن يقطع عليه بالضعف، وربما أخطأ أو
يهم، كما يخطيء غيره، ولم يتخلف في الرواية عنه الثقات والأئمة وهو لا بأس به
”Saya
telah meneliti hadits-haditsnya, dan saya tidak melihat ada hadits-hadits yang
pasti kedla’ifannya. Terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana yang juga
dilakukan oleh orang lain; selama tidak ada penyelisihan riwayat darinya dari
kalangan perawi yang terpercaya dan para imam, maka riwayatnya tidak masalah
(dapat diterima)”.
Hal
ini adalah kesaksian yang sangat penting. Bukan karena kedudukan dan sikap keras
Ibnu ‘Ady dalam pen-tausiq-an ini saja, tetapi hal itu berdasarkan pada
proses pengujian riwayat. Bukan sekedar penukilan perkataan para ahli
naqd sebelumnya yang menuduh Ibnu Ishaq seputar masalah qadar (yaitu
fitnah Qadariyyah), tasyayu’ (kecenderungan pada pemikiran Syi’ah),
tadlis,[2] dan tashhif (salah tulis). Hal itu
sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Yahya bin Sa’id Al-Umawi :
ابن
إسحاق يصحف في الأسماء لأنه إنما أخذها من الديوان
”Ibnu
Ishaq sering melakukan tahshhif (kesalahan dalam penulisan) tentang
nama-nama karena ia mengambilnya dari kitab-kitab diwan”. [3]
Bahkan
ia pernah dituduh melakukan kebohongan terhadap sebuah riwayat dari Fathimah
istri Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair. Akan tetapi, tuduhan tersebut tidak
terbukti. Beberapa imam yang menyanggah kecurigaan yang dilontarkan oleh para
kritikus tersebut terhadap Ibnu Ishaq, diantaranya adalah Al-Imam Ahmad bin
Hanbal. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
لا
ريب أن ابن إسحق كثَّر وطوَّل بأنساب مستوفاة، اختصارها أملح، وبأشعار غير طائلة
حذفها أرجح، وبأثار لم تصحح، مع أنه فاته شيء كثير من الصحيح لم يكن عنده، فكتابه
محتاج إلى تنقيح وتصحيح ورواية ما فاته
”Tidak
ragu lagi bahwa Ibnu Ishaq itu sering memperbanyak dan memperpanjang
silsilah-silsilah nasab para perawi yang sebenarnya tidak perlu, menyisipkan
syair-syair pendek yang seharusnya dibuang, dan menyebutkan atsar-atsar yang
tidak shahih. Namun di sisi lain, ia melewatkan banyak hal dari riwayat-riwayat
shahih yang tidak ada padanya. Jadi, kitabnya perlu diteliti kembali, dan
riwayat-riwayatnya harus di-tashhih lagi”.[4]
Beliau
berkata lagi :
ابن
إسحق حجة في المغازي وله مناكير وعجائب
”Ibnu
Ishaq adalah hujjah bagi karya Maghazi. Akan tetapi ia punya kelebihan
dan kekurangan”.[5]
Al-Hafidh
Adz-Dzahabi telah berusaha keras untuk menerangkan tingkatan hadits Ibnu Ishaq.
Ia pun mengatakan :
وله
ارتفاع بحسبه، ولا سيما في السيرة، وإما في أحاديث الأحكام فينحط حديثه فيها عن
رتبة الصحة، إلا فيما شذّ فيه فإنه يعد منكرا
”Hadits-haditsnya
tentang sirah cukup bagus. Sementara hadits-haditsnya tentang hukum berada di
bawah tingkatan hadits shahih. Kecuali hadits yang terdapat keganjilan
(syadz) di dalamnya, maka ia dihitung sebagai hadits munkar”.[6]
Al-Hafidh
Al-‘Iraqi mengatakan :
المشهور
قبول حديث ابن إسحق إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا
”Menurut
pendapat yang masyhur bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun
ia seorang perawi yang mudallis. Apabila telah ada penegasan yang jelas
(tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima”.[7]
Al-Hafidh
Adz-Dzahabi mengatakan :
والذي
يظهر لي أن ابن إسحق حسن الحديث صالح الحال صدوق، وما تفرّد ففيه نكارة، فإن في
حفظه شيئا، وقد احتج به الأئمة
”Dan
yang jelas menurut saya, Ibnu Ishaq adalah hasanul-hadits, perilakunya baik, dan
jujur (shaduq). Dan apa-apa yang ia bersendirian (dalam meriwayatkan
hadits), maka terdapat pengingkaran di dalamnya. Meskipun ada sedikit masalah
dalam hafalannya, namun para ulama menjadikannya sebagai hujjah”.[8]
Adz-Dzahabi
juga mengatakan :
كان
أحد أوعية العلم حبرا في معرفة المغازي والسيرة، وليس بذلك المتقن، فانحط حديثه عن
رتبة الصحة، وهو صدوق في نفسه مرضي
”Ibnu
Ishaq adalah salah seorang yang sangat menguasai riwayat-riwayat tentang
peperangan-peperangan dan sirah. Sayang ia tidak mutqin (teliti) sehingga
peringkat haditsnya di bawah tingkat shahih. Ia adalah orang yang sangat jujur
terhadap dirinya sendiri dan disukai”.[9]
Al-Hafidh
Ibnu Hajar mengatakan :
ما
ينفرد به وإن لم يبلغ الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث....وإنما يصحح له
من لا يفرق بين الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان
ومن ذكر معه
”Selama
ia tidak bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada
derajat hadits shahih, namun merupakan hadits yang berderajat hasan dengan
syarat ada penegasan penyimakan haditsnya........ Dan yang menganggap shahih
haditsnya hanyalah orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan
hadits hasan, dan orang yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut
hadits shahih. Itulah anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya”.[10]
Ini
tidak berarti menguatkan semua riwayatnya yang terdapat dalam kitabnya tentang
sirah. Ada beberapa riwayat di dalamnya riwayat-riwayat munkar dan
munqathi’. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
صالح
الحديث ما له عندي ذنب إلا ما قد حشاه في السيرة من الأشياء المنكرة
والمنقطعة
”Shaalihul-hadiits.
Tidak ada padanya satu cacat menurutku, kecuali apa-apa yang telah ia masukkan
dalam sirah riwayat-riwayat munkar dan munqathi’ .[11]
Al-Hafidh
Ibnu Hajar telah berhasil men-takhrij hadits-hadits munqathi’
dalam Sirah Ibnu Hisyam pada sebuah catatan tersendiri. Sayang sekali,
catatan itu hilang.[12]
Para
perawi sirah yang biasa meriwayatkan dari Ibnu Ishaq adalah :
- Ziyad bin Abdillah Al-Baka’i.
Ibnu
Hisyam meriwayatkan dari jalur sanadnya.
- Bakr bin Sulaiman.
Khalifah
bin Khayyath meriwayatkan dari jalur sanadnya dalam kitabnya At-Tarikh.
- Salmah bin Al-Fadhl Al-Abrasy.
Mengomentari
Ath-Thabari berkomentar tentangnya :
ليس
من لدن بغداد إلى إن يبلغ خراسان إثبت في ابن إسحق من سلمة بن الفضل
”Mulai
dari Baghdad hingga ujung Khurasan, tidak ada orang yang paling memahami Ibnu
Ishaq dengan baik selain Salmah bin Al-Fadhl”.[13]
- Yunus bin Bakir (wafat tahun 195 H).
Menurut
Ibnu Hajar, ia adalah seorang perawi yang jujur (shaduuq), tetapi sering
melakukan kesalahan.[14] Menurut Adz-Dzahabi, Yunus adalah orang
yang hasan haditsnya (hasanul-hadits). Imam Muslim mengetengahkan
riwayat-riwayatnya dalam syawaahid, bukan dalam ushul. Demikian
pula yang dilakukan oleh Al-Bukhari.[15] Sementara itu, secara tegas Abu Dawud
As-Sijistani mengatakan bahwa Yunus bin Bakir bukanlah hujjah. Ia hanya
mengambil ucapan Ibnu Ishaq, yang kemudian ia sambungkan begitu saja dengan
hadits-hadits.[16]
- Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri (wafat tahun 185 H).
Ahmad
bin Muhammad bin Ayyub – pengarang kitab Al-Maghaaziy - meriwayatkan dari
jalur sanadnya. Dan itu adalah riwayat yang biasa dijadikan perantara oleh
Al-Hakim An-Naisabury untuk mengutip dalam Al-Mustadrak.[17]
- Harun bin Abi ‘Isa, yang riwayatnya dijadikan pegangan oleh Ibnu Sa’ad.
- Abdullah bin Idris Al-Audi.
Ibnu
Sa’ad juga biasa meriwayatkan darinya.
- Yahya bin Sa’ad Al-Umawi, yang berhasil menulis kitab tentang Maghazi setelah banyak mendengar dari Ibnu Ishaq, dan ia juga memberikan keterangan-keterangan tambahan.[18]
Terdapat
beberapa perbedaan di antara riwayat-riwayat tentang sirah tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa Ibnu Ishaq selama beberapa waktu pernah melakukan pembetulan
atau perbaikan pada kitab sirahnya.
Nampak
jelas bahwa riwayat Yunus bin Bakir adalah riwayat yang paling dahulu, dan bahwa
Al-Baka’i membawa naskah yang pernah dibetulkan dan diperbaiki oleh Ibnu Ishaq.
Sebagai contoh, adanya perbedaan riwayat tersebut bahwa dalam riwayat Al-Baka’i,
Ibnu Ishaq menyebutkan nama Abdullah bin Mas’ud dalam rombongan hijrah ke
Habasyah yang kedua.[19] Sementara dalam riwayat Yunus bin Bakir,
nama Abdullan bin Mas’ud disebut-sebut dalam rombongan ke Habasyah yang
pertama.[20]
Contoh
lain, disebutkan dalam riwayat Al-Baka’i bahwa Ja’far bin Abi Thalib adalah
orang yang berbicara kepada An-Najasyi atas nama kaum muslimin. Akan tetapi
dalam riwayat Yunus bin Bakir disebutkan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan lah yang
berbicara kepada An-Najasyi, sementara Ja’far bin Abi Thalib hanya sebagai
penerjemah saja. Akan tetapi, Ibnu Ishaq tetap mengomentari riwayat ini dengan
berbagai alasan dalam rangka menafikkan kebenarannya.[21]
Contoh
yang lain lagi, adalah apa yang dituturkan sendiri oleh Ibnu Ishaq dalam riwayat
Yunus bin Bakir bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika rajin
mengirimi surat kepada para penguasa di muka bumi, beliau juga tidak ketinggalan
mengirimkan sepucuk surat kepada An-Najasyi Al-Ashham yang berisi ajakan agar ia
bersedia masuk Islam.[22] Sementara dalam riwayat Al-Baka’i, tidak
disinggung-singgung nama Al-Ashham.[23] Hal itu membuktikan bahwa Ibnu Ishaq
telah mengadakan perbaikan atau pembetulan pada sirahnya. Disebabkan pada saat
itu An-Najasyi Al-Ashham sudah masuk Islam. Jadi surat Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam tadi pasti ditujukan kepada An-Najasyi generasi yang
berikutnya, seperti yang ditegaskan oleh Al-Imam Muslim.[24]
Kesimpulannya
:
Ibnu Ishaq adalah perawi mudallis yang kedudukannya tidak sampai pada
tingkat shahih. Haditsnya diterima dan berkedudukan pada tingkatan hadits hasan
jika ia tidak bersendirian dan menegaskan tentang penyimakannya terhadap hadits
yang ia terima. Ia merupakan imam ketika membawakan riwayat-riwayat tentang
sirah. Wallaahu a’lam.
Ditulis
kembali oleh Abul-Jauzaa'
Catatan
kaki :
[1]
Yaitu dengan perkataan tegas yang menunjukkan kebersambungan sanad :
haddatsanaa
(telah menceritakan kepada kami), akhbaranaa
(telah mengkhabarkan kepada kami), dan yang sejenisnya -
Abul-Jauzaa'.