Alkisah Sepulang
dari melaksanakan ‘umrah qadla’, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tinggal di Madinah selama beberapa bulan, mulai bulan Dzulhijjah sampai
Rabi’uts-Tsaaniy. Pada bulan Jumadil-Ula[1], beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memberangkatkan pasukan sebanyak 3.000 orang menuju Syaam.[2] Beliau menunjukkan Zaid bin Al-Haarits
sebagai pemimpin pasukan tersebut, dengan instruksi : Jika Zaid gugur, maka
Ja’far bin Abi Thaalib sebagai penggantinya, dan jika Ja’far gugur, maka
‘Abdulah bin Rawahah sebagai penggantinya.[3] Hal ini menunjukkan bolehnya
menggantungkan penyerahan kepemimpinan dengan syarat dan memberi kekuasaan
kepada beberapa panglima perang secara berurutan.[4] Inilah kali pertama langkah penuh
perhitungan dan strategi ekstra hati-hati yang digunakan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau sudah memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi oleh pasukan kaum muslimin, mengingat
musuh yang dihadapi sangat kuat, yaitu bangsa Romawi. Apalagi mereka didukung
kabilah-kabilah yang berada di Syiria.
Ketika
pasukan kaum muslimin tiba di daerah Mu’aan, sampailah khabar kepada mereka
tentang kedatangan Heraklius di wilayah Ma’aab, yaitu Al-Balqaa’, dengan 100.000
pasukan Romawi dan 100.000 pasukan Nashrani ‘Arab dari suku Lakhm, Jidzaam,
serta Qudlaa’ah (Bahraa’, Biliy, dan Balqiin). Kaum muslimin tinggal di Mu’aan
selama dua malam bermusyawarah tentang masalah yang mereka hadapi. Sebagian
mereka berpendapat untuk berkirim surat kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kekuatan musuh, dengan harapan beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam akan mengirim bantuan pasukan tambahan atau
mungkin ada yang beliau perintahkan. Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah memberi
semangat kepada pasukan dengan mengatakan :
يا قوم، واللهِ إن التي تكرهون للتي خرجتم تطلبون؛ الشهادة. وما
نقاتل الناس بعدد ولا قوة ولا كثرة ولا نقاتلهم إلا بهذا الدين الذي أكرمنا الله
به، فانطلقوا فإنما هي إحدى الحسنيين، إما ظهورٌ وإما شهادة.
“Wahai
kaum, sesungguhnya yang kalian benci dari keluarnya kalian (menuju peperangan)
pada hari ini, justru yang selama ini kalian cari, yaitu mati syahid. Kita
berperang tidak mengandalkan jumlah pasukan, kekuatan (fisik), dan banyaknya
perlengkapan serta perbekalan. Tidaklah kita berperang kecuali karena membela
agama (Islam) yang dengannya Allah memuliakan kita. Oleh karena itu, majulah
terus kalian karena kita akan mendapatkan salah satu di antara dua kebajikan :
Menang atau Mati Syahid”.[5]
Ucapan
Abdullah bin Rawahah tersebut benar-benar mampu membangkitkan semangat para
pasukan. Pendapat orang-orang yang meragukan kekuatan sendiri seketika itu
melemah. Zaid bin Haritsah mendorong pasukannya bergerak ke wilayah Mu’tah
sebelah timur wilayah Kark. Ia berjalan mengikuti jejak pasukan Romawi.
Pertempuran besar-besaran mencatat keberanian tiga orang panglima yang berjiwa
heroik sampai akhirnya mereka gugur sebagai syahid. Setelah bertempur dengan
gigih, akhirnya Zaid bin Haritsah radliyallaahu ‘anhu terkena panah
pasukan Romawi, dan gugur sebagai syahid. Bendera Islam segera diambil Ja’far
bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Setelah menyembelih kuda belangnya,
ia terus maju bertempur pantang mundur sambil memegang bendera. Ketika tangan
kanannya terputus oleh tebasan pedang musuh, ia memegang bendera dengan tangan
kirinya. Dan ketika tangan kirinya juga terputus, ia kempit bendera itu dengan
menggunakan lengan sambil terus bertempur dengan gigih; sebelum akhirnya ia
gugur secara syahid. Giliran Abdullah bin Rawahah yang mengambil bendera.
Setelah sejenak nampak ragu-ragu, ia maju ke medan laga untuk bertempur
habis-habisan sampai akhirnya gugur sebagai syahid. Akhirnya, bendera diambil
oleh Tsaabit bin Arqam. Di tengah-tengah berkecamuknya pertempuran, ia menyeru
kepada kaum muslimin agar memilih seorang panglima. Akhirnya mereka memilih
Khaalid bin Al-Waliid. Khaalid menyadari posisi pasukannya yang terdesak. Waktu
jeda ia manfaatkan untuk mengatur strategi. Ia menerapkan pola baru. Pasukan
yang semula berada di garis depan ia alihkan ke garis belakang, dan sebaliknya.
Demikian pula pasukan sayap kanan ia alihkan ke sayap kiri, dan sebaliknya.
Dengan cara demikian pasukan musuh terkecoh seakan-akan pihak kaum muslimin
mendapatkan tambahan pasukan untuk menghadapi pasukan Romawi. Pada saat itulah
Khaalid mengambil langkah untuk menarik mundur secara teratur sehingga menurut
keterangan beberapa sumber, pasukannya yang gugur hanya 13 orang saja.[6]
Strategi
Khaalid dengan menarik mundur pasukan ini dianggap sebagai satu kemenangan yang
besar karena ia mampu menekan korban dan kerugian-kerugian lain pada pasukannya
yang jumlahnya jauh lebih kecil dibanding korban tewas dan luka-luka di pihak
Romawi. Tidak diragukan lagi bahwa kegigihan kaum muslimin, keberanian mereka
yang luar biasa, semangat tinggi mereka untuk meraih kesyahidan, dan kecerdikan
Khaalid bin Al-Waliid dalam mengatur strategi; semua itulah yang membuat mereka
meraih pertolongan Allah sehingga selamat dari kehancuran.
Pada
tubuh Ja’far bin Abi Thaalib ditemukan lebih dari 90 luka bekas tusukan tombak
dan panah.[7] Akan tetapi hal itu tidaklah membuatnya
mundur untuk maju bertempur hingga hembusan nafasnya yang terakhir !!. Juga,
sembilan pedang patah oleh tangan Khaalid bin Al-Waliid.[8]
Termasuk
mu’jizat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau telah
menyebutkan – dengan berlinang air mata - kesyahidan tiga orang shahabatnya,
padahal belum ada satu pun utusan yang datang kepada beliau untuk menyampaikan
khabar. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberitahukan kepada
mereka bendera Islam diserahkan kepada Khaalid, dan kemudian mengkhabarkan
kepada mereka akan kemenangan kaum muslimin melalui tangannya.[9] Yang dimaksud dengan kemenangan dalam
hadits shahih ini bisa berupa strategi dan pola baru yang diterapkan Khaalid,
dan juga bisa berupa keberhasilan pasukan kaum muslimin yang membuat pasukan
Romawi menderita kerugian yang cukup signifikan, walaupun pasukan mereka jauh
lebih unggul dalam kuantitas.
Walaupun
strategi mundur teratur dianggap sebagai satu kemenangan, orang-orang tidak
senang dengan hal itu. Sambil menaburkan pasir mereka berteriak : “Wahai
pengecut, kalian telah lari dari jihad fii sabiilillah !!”. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ليسوا بالفرار ولكنهم الكرار إن شاء الله
“Mereka
bukanlah pengecut. Akan tetapi mereka akan kembali lagi (untuk bertempur) insya
Allah”.[10]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kedudukan para
syuhadaa’ Mu’tah di sisi Allah ta’ala dengan sabdanya
:
ما يسرني أو قال ما يسرهم أنهم عندنا
“Tidaklah
aku senang –
atau berkata - tidaklah mereka senang tinggal di tengah-tengah kita”.[11]
Yaitu
: disebabkan mereka sedang memperoleh tempat yang mulia di sisi Allah di surga.
Anak-anak
Ja’far bin Abi Thaalib dipanggil oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Setelah menghibur mereka, beliau lalu menyuruh mereka untuk mencukur
rambut, kemudian mendoakan mereka. Selanjutnya beliau bersabda kepada ibu mereka
yang masih nampak berduka :
العيلة تخافين عليهم وأنا وليهم في الدنيا والآخرة
“Jangan
khawatir anak-anak ini akan terlantar. Akulah wali mereka di dunia dan di
akhirat”.[12]
Sesungguhnya
kaum muslimin berhasil menimba banyak pelajaran serta pengalaman yang sangat
berharga dari pertemuan mereka yang pertama (dalam pertempuran) dengan pasukan
Romawi untuk gerakan-gerakan jihad di masa mendatang. Mereka menjadi tahu
kekuatan pasukan Romawi, jumlah pasukan mereka, strategi perang,
rencana-rencana, dan karakter medan yang mereka jadikan ajang
pertempuran.
[As-Siirah
An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy,
hal. 467-469].
[1]
Dibawakan Ibnu Ishaq tanpa sanad [Siirah Ibni Hisyaam 3/427], Cet.
Muhammad Muhyiddin ‘Abdil-Hamiid.
[2]
Termasuk riwayat mursal ‘Urwah bin Az-Zubair [Siirah Ibni Hisyaam
3/427]. Adapun sanad Ibnu Ishaq sampai ‘Urwah adalah hasan.
[3]
Shahih Al-Bukhariy (Fathul-Baariy 7/510). Juga Ibnu Ishaq :
termasuk riwayat mursal ‘Urwah [Siirah Ibni Hisyaam
3/427].
[6]
Siirah Ibni Hisyaam 3/430-431 dan Ibnu Hazm dalam
Jawaami’us-Siirah hal. 220-222. Ibnu Ishaq tidak membawakan sanad kisah
pertempuran ini, kecuali pada bagian Ja’far bin Abi Thaalib menyembelih kudanya
dan ‘Abdullah bin Rawaahah yang sempat ragu-ragu sebentar lalu maju (bertempur).
Keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Ishaaq dengan sanad hasan yang didalamnya
terdapat jahalah (tidak dikenalnya) nama seorang shahabat. Namun
jahalah tersebut tidaklah menjadi masalah.
[10]
Dibawakan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad hasan sampai pada ‘Urwah, namun ia
mursal sehingga dla’if [Siirah Ibni Hisyaam
3/438].