M. Afifuddin
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ
وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً"
"Tidak akan berbahagia / berjaya suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada wanita (mengangkat wanita sebagai pemimpin)."
DERAJAT HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh:
-
Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di dua
tempat. Kitabul Maghazi bab Kitab An-Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam ila Kisra wa Qaisar no. 4425 dan Kitabul Fitan no. 7099.
-
Imam Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul
Fitan no. 2262 dan beliau menyatakan: "Hadits ini hasan shahih."
-
Imam An-Nasa`i dalam Sunannya, Kitab
Adabil Qudlat bab An-Nahyu 'an Isti'malin Nisa fi Hukmi no. 2/305
no. 5403.
-
Al-Hakim dalam Mustadraknya, Kitabul
Fitan wal Malahim 4/570 no. 8599 dan beliau menyatakan: "Hadits ini
sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak
mengeluarkannya."
-
Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, bab
La Yuwalli Al-Wali Imra`atan wala Fasiqan wala Jahilan Amral Qadla,
Kitab Adabul Qadli, 10/201 no. 20362.
-
Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah,
Kitabul Imarah wal Qadla, bab Karahiyatu Tauliyatin Nisa 6/60 no.
2486. Kata beliau: "Hadits shahih."
-
Al-Khatib At-Tibrizi dalam Misykatul Mashabih, Kitabul
Umarah wal Qadla pasal pertama 2/1091 no. 3693.
-
Al-Imam As-Suyuthi dalam Jami'us Shaghir,
lihat Faidlul Qadir karya Al-Munawi 5/386 no. 7393 dan beliau
(Suyuthi) memberi kode: "Shahih."
Dari berbagai jalan dari Al-Hasan
dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu, beliau menceritakan:
لَقَدْ نَفَعَنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ
سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا
كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا
بَلَغَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَهْلَ فَارِسٍ قَدْ مَلَّكُوا
عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى. قَالَ: (فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ).
"Sungguh
Allah telah memberi aku manfaat dengan satu kalimat yang aku dengar dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari perang Jamal, setelah
hampir saja aku bergabung dengan Ashabul Jamal (Aisyah dan orang-orang
yang bersamanya, pent) dan berperang bersama mereka." Beliau (Abu Bakrah)
berkata: "Tatkala sampai (khabar) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu
mereka, beliau bersabda: (lalu beliau menyebutkan hadits di atas)."
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitabnya (Irwaul Ghalil 8/109
no. 2456): "Al-Hasan tersebut adalah Al-Bashri. Ia mudallis (orang
yang suka menyamarkan perawi sebuah hadits, pent) dan dia meriwayatkan hadits
ini secara mu'an'an (dengan menggunakan lafadh 'an yang artinya
"dari", pent)[1] pada
semua jalan yang tersebut (dalam referensi) di atas. Namun hadits ini memiliki
jalan lain dari Abi Bakrah yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/38 & 47
melalui jalan 'Uyainah: Telah menceritakan kepadaku dari ayahku dari Abi Bakrah
dengan lafadh:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوْا
أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
"Tidak
akan bahagia / jaya suatu kaum yang menyandarkan urusan mereka kepada seorang
wanita."
Saya (Al-Albani) berkata:
"Sanadnya jayyid (bagus). 'Uyainah adalah putra Abdurrahman bin
Jausyan. Dia seorang tsiqah (terpercaya), demikian pula ayahnya."
Oleh karena itulah beliau
menshahihkan hadits ini dalam Al-Irwa` 8/109 no. 2456 dan 8/235
no. 2613, Shahihul Jami' no. 5225, Shahih Sunan At-Tirmidzi
no. 1847 dan Shahih Sunan An-Nasa`i no. 4981.
Sehingga secara ilmu hadits,
riwayat hadits ini derajatnya shahih dan dapat dijadikan sebagai dalil atau
hujjah.
Adapun pernyataan Prof Dr.
Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di Harian Jawa Pos terbitan
Minggu Pahing 8 November 1998 halaman 1: "Hukum agama (Islam) tidak secara
tegas mengatur boleh tidaknya wanita menjadi kepala negara atau kepala
pemerintahan...."
Dia juga menyatakan: "Memang
ada hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala pemerintahan semestinya dijabat
oleh pria, meski begitu hadits-hadits tersebut lemah." Dan insya Allah
yang dia maksud adalah hadits yang sedang kita bahas, maka kita katakan:
Lihatlah pernyataan yang
dilontarkan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai tokoh "cendekiawan
muslim". Ucapan yang dilontarkan di saat musuh-musuh rakyat sedang
berupaya menghancurkan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, dengan mendukung seorang wanita sebagai kepala negara. Pernyataan di
atas tidak keluar dari dua kemungkinan:
1. Pernyataan tersebut
dilontarkan oleh seorang yang jahil (bodoh) yang sama sekali tidak mengerti
kaidah ilmu hadits dalam masalah tashhih (menshahihkan) dan tadl'if
(melemahkan) sehingga orang tersebut perlu diajari sampai dia mengerti. Dan
sungguh naif orang seperti ini disebut cendekiawan / tokoh muslim, apalagi
ulama.
2. Pernyataan tersebut
dilontarkan oleh shahibul hawa (pengekor hawa nafsu) yang mempunyai misi
dan tujuan untuk membikin makar terhadap kaum muslimin. Maka kita harus memperingatkan
umat dari bahaya pemikirannya.
Kalaulah kita mencermati sepak
terjangnya dalam dunia keislaman, dengan pemikiran dan pernyataan-pernyataannya
yang menyimpang, maka kedua kemungkinan di atas ada pada dia, sekalipun yang
kedua lebih menonjol. Wallahu musta'an.
Sangatlah disayangkan pada jaman
modern seperti sekarang ini atau yang biasa disebut era globalisasi, masih
banyak kaum muslimin yang tidak menjadikan hadits tersebut di atas sebaga
dasar, dalil / hujjah dengan alasan kuno yang sudah lama dilontarkan rasionalis
sesat yang berkiblat kepada orang kafir dari Yunani kuno, yaitu alasan bahwa
hadits tersebut adalah ahad (diriwayatkan oleh satu orang),
seperti pernyataan seorang Wahyuni Widyaningsih, manajer kajian pada 'Elsad,
Surabaya dalam tulisannya yang berjudul "Presiden Perempuan di mata
Islam", dimuat di Jawa Pos senin legi 2 November 1998 di halaman 4. Atau
orang-orang yang sepaham dengan dia.
Pemikiran tersebut menyimpang
karena pemkiran seperti ini pada kenyataannya menyalahi prinsip Islam itu
sendiri. Al-Qur`an dan Al-Hadits dan kesepakatan para ulama Islam yang diakui
keilmuannya telah menunjukkan bahwa semua hadits shahih yang datang dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam baik itu ahad ataupun mutawatir
wajib diterima, baik yang berbicara masalah aqidah maupun hukum-hukum syariat,
dan hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum. Apabila ada seseorang
yang menyelisihi kesepakatan ini, maka dia telah mengadakan perkara baru
(membuat bid'ah, ed) dalam masalah agama. Lihat penjelasan Imam Asy-Syafi'i
tentang masalah ini dalam kitabnya Ar-Risalah halaman 401 – 453
dan Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al-Hadits
Hujjatun bi Nafsihi fil Aqa'id wal Ahkam halaman 51-72.
Ada pula beberapa tokoh yang
menyatakan bahwa hadits di atas tidak dapat dijadikan dasar dengan alasan latar
belakang penuturan hadits ini (asbabul wurud, ed). Hadits ini diucapkan
oleh Rasulullah pada saat mendengar kabar bahwa penduduk Persia menobatkan
putri Kisra yaitu Buran sebagai kepala negara mereka. Melihat latar
belakang yang demikian, tampak hadits di atas sangat kasuistik dan tradisional
sekali (menunjukkan pada konteks tertentu). Demikian dinyatakan oleh Dr. Said
Aqil Siradj, Katib Am Syuriah PB NU dalam tulisannya yang berjudul
"Pro dan Kontra Presiden Wanita" yang dimuat di Jawa Pos
terbitan Sabtu 21 November 1998 dan pernyataan Dr. Alwi Shihab, seorang staf
pengajar lulusan Universitas Harvard USA, dan juga ketua PKB dalam tulisannya
yang berjudul "Memperhatikan Prinsip daripada Label". Dimuat di Jawa
Pos terbitan Selasa 17 November 1998.
Kita katakan: Sebab penuturan
hadits di atas memang seperti yang telah dijelaskan. Namun kalau kita lebih
mencermati riwayat-riwayat hadits ini dalam referensi yang telah kita cantumkan
di awal, maka kita akan mendapatkan kejelasan bahwa hadits ini tidak kasuistik
atau menunjukkan konteks tertentu, dalam hal ini adalah penduduk Persia.
Buktinya, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas
dijadikan dasar oleh Abu Bakrah radliyallahu 'anhu untuk tidak bergabung
dengan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah radliyallahu 'anha dalam perang
Jamal. Bahkan hadits ini dijadikan pedoman untuk menilai kedua belah pihak
(pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam kitabnya Fathul Bari 13/60 setelah membawakan hadits di
atas menyatakan: "Al-Ismaili menambahkan di akhir hadits dari jalan
An-Nadlr bin Syumail dari Auf bahwa Abu Bakrah menyatakan:
فَعَرَفْتُ أَنَّ أَصْحَابَ
الْجَمَلِ لَنْ يُفْلِحُوا
"Maka saya
tahu bahwa ashabul jamal (Aisyah dan tentaranya) tidak akan jaya /
menang." (Lihat Irsyadul Sari 5/49 oleh Al-Qasythalani)
Pernyataan beliau radliyallahu
'anhu bukan karena ada tendensi politik seperti yang dikatakan saudari
Wahyuni Widyaningsih, namun murni semata-mata menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Kita katakan demikian karena beliau salah satu shahabat
Rasul, sedangkan para ulama telah sepakat bahwa semua shahabat adalah 'udul
(adil). Ini juga menunjukkan pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.
Pernyataan beliau juga tidak
berarti menghina atau meremehkan kemampuan Aisyah radliyallahu 'anha.
Ibnu Bathal menukilkan dari Al-Muhallab, beliau menjelaskan: "Dhahir
hadits Abu Bakrah terkesan meremehkan pendapat Aisyah dalam perbuatan yang ia
lakukan, padahal tidaklah demikian. Karena menurut pendapat yang masyhur, Abu
Bakrah pada dasarnya sependapat dengan Aisyah, yaitu ingin mengadakan
perdamaian di kalangan massa dan tidak bermaksud untuk berperang. Namun tatkala
api perang telah menyala, orang-orang yang bersama Aisyah mau tidak mau harus
ikut berperang. Abu Bakrah sendiri tidak ruju' dari pendapat semula. Hanya saja
beliau mendapatkan firasat bahwa mereka akan kalah karena mereka dipimpin oleh
Aisyah tatkala beliau ingat sabda Rasul tentang bangsa Persia..."
Pernyataan beliau ini justru
menunjukkan bahwa faktor penentu utama bagi posisi kepala negara adalah gender,
bukan semata-mata integritas, kemampuan dan dukungan masyarakat. Karena kita
semua sepakat bahwa Aisyah memiliki kemampuan dan pada waktu itu mendapat
dukungan dari sebagian shahabat Rasul. Wallahu a'lam.
Dari sinilah kita kembali kepada
kaidah masyhur yang telah disepakati oleh para ulama:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
"Yang
menjadi patokan pengambilan suatu hukum adalah pengertian umum dari suatu kata,
dan bukan pada konteks atau sebabnya yang spesifik."
Juga ada kaidah ushul fiqh:
إِذَا وَقَعَتِ النَّكِرَةُ فِي
سِيَاقِ النَّفْيِ أَوْ النَّهْيِ أَوِ الشَّرْطِ أَوِ اْلإِسْتِفْهَامِ دَلَّتْ
عَلَى الْعُمُوْمِ
"Apabila isim
nakirah terletak setelah teks nafi (peniadaan) atau nahi
(larangan) atau syarat atau istifham (pertanyaan), maka ia menunjukkan
makna umum." (Lihat Al-Qawaidul Lisan li Tafsiril Qur`an
[masuk bagian Tafsir As-Sa`di] 5/472 dan Al-Ushul min 'Ilmil Ushul
hal. 23 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin)
Lafadh hadits di atas sesuai
dengan kaidah tersebut dimana kata qaumun (قوم) sebagai isim nakirah jatuh setelah teks nafi
yaitu lan yuflih (لن يفلح),
maka hadits tersebut di atas menunjukkan pengertian umum.
PENJELASAN HADITS
Hadits di atas dijadikan dasar
para ulama untuk melarang seorang wanita memangku jabatan sebagai kepala
negara. Berikut ini akan saya nukilkan keterangan ulama berbagai madzhab
tentang hadits di atas:
- Ibnu Hazm Adh-Dhahiri
dalam kitabnya Al-Fashl 4/110 menyatakan: "Seluruh golongan
Ahli kiblat (muslimin), tidak ada seorang pun dari mereka yang memperbolehkan
kepemimpinan seorang wanita." (Lihat Al-Imamatul 'Udhma hal.
246).
- Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
dalam kitab Al-Mughni 10/92 menjelaskan alasan seorang wanita
tidak boleh menjadi hakum atau pemimpin: "...karena seorang hakim (qadli)
harus menghadiri tempat pengadilan dan perkumpulan lelaki dan membutuhkan
pandangan yang tajam serta kecerdasan akal yang sempurna. Sementara wanita
adalah makhluk yang kurang akalnya, dangkal pandangan pemikirannya, tidak boleh
hadir pada perkumpulan kaum lelaki dan tidak diterima persaksiannya (dalam
pengadilan) sekalipun 1000 (seribu) wanita selama tidak ada laki-laki (yang
ikut jadi saksi). Allah telah mengingatkan sifat pelupa mereka dalam
firman-Nya:
أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا
فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى
"...supaya
jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya...." (Al-Baqarah: 282)
Seorang wanita tidak layak
memangku jabatan kepemimpinan tertinggi dan tidak pula mengatur sebuah negara.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para
khalifahnya dan para ulama yang datang sepeninggal beliau tidak pernah
mengangkat seorang wanita sebagai hakim atau mengatur sebuah wilayah di suatu
negara. Menurut berita yang sampai kepada kami, kalaulah boleh, maka tidak akan
kosong seluruh masa dari kepemimpinan wanita...."
- Abu Muhammad Al-Husain bin
Mas'ud Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah 6/60
menjelaskan: "(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh
menjadi pemimpin dan hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar
untuk mengurusi permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum muslimin. Sementara
seorang hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai permasalahan. Sedangkan
wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari rumahnya). Wanita sering kali
tidak mampu mengurusi banyak perkara karena kelemahannya dan dikarenakan wanita
itu kurang (agama dan akalnya). Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu adalah
jabatan yang sempurna , tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang
sempurna...."
- Abu Bakar Ibnul 'Arabi
Al-Maliki dalam kitabnya Aridlatul Ahwadzi juz 9/119 setelah
membawakan hadits ini menjelaskan: "Hadits ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada celah bagi wanita dalam masalah
ini menurut kesepakatan (ulama, pent)."
- Muhammad Abdurra`uf
Al-Munawi dalam kitabnya Faidlul Qadir 5/386 setelah
menyebutkan hadits ini menyatakan: "...yang demikian itu karena kekurangan
yang ada pada seorang (wanita) dan kelemahan pandangannya (rasionya), juga
karena seorang pemimpin dituntut untuk keluar mengurusi problem rakyat.
Sedangkan seorang wanit adalah aurat yang tidak mungkin keluar melakukan tugas
seperti itu. Maka ia tidak sah menjadi seorang pemimpin dan hakim."
- At-Thibi menjelaskan:
"Hadits ini menyandarkan ketidakbahagiaan, ketidakjayaan bangsa Persia
secara ta`kid (penekanan) dan pada hadits ini ada isyarat bahwa kejayaan
milik bangsa Arab, sehingga berita ini merupakan mu'jizat."
- Imam As-Shan'ani dalam Subulus
Salam Kitabul Qadla 4/229 menjelaskan hadits ini: "Di dalam
hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita memimpin
sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan muslimin...."
Beliau juga menegaskan: "Hadits ini mengabarkan tentang ketidakjayaan
suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin. Sedangkan kita dilarang
melakukan sesuatu yang mengakibatkan ketidakjayaan / ketidakbahagiaan pada diri
kita dan diperintahkan untuk berupaya mengerjakan sesuatu yang membawa kepada
kebahagiaan dan kejayaan."
- Imam Asy-Syaukani dalam
kitabnya Nailul Authar juz 8/272 bab Al-Mu`min Wilayatil
Mar`ati was Shabiyi wa Man La Yuhsinul Qadla menerangkan: "Pada hadits
ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita bukanlah orang yang
pantas dan berhak menjadi pemimpin. Bahkan tidak halal bagi suatu kaum
mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. Sedangkan menjauhkan diri dari
perkara yang membawa kepada ketidakbahagiaan adalah wajib."
- Dalam kitabnya yang lain yaitu As-Sailul
Jarar 4/505 ketika berbicara tentang syarat seorang pemimpin harus
pria, beliau menjabarkan: "...Alasannya adalah karena kaum wanita adalah
orang yang kurang akal[2] dan
agamanya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Orang yang seperti itu keadaannya, tentu saja sangat tidak pantas
mengurusi problem umat. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
"Tidak
akan jaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita."
- Al-'Allamah Muhammad Amin
Asy-Syinqithi dalam Adlwaul Bayan 1/52 menjelaskan: "Termasuk
syarat kepala negara adalah dia seorang pria. Tidak ada ikhtilaf
dalam masalah ini di kalangan para ulama. Dalilnya adalah hadits yang terdapat
dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya dari hadits Abi Bakrah
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai pada beliau
kabar bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu (kepala
negara), beliau bersabda: (hadits di atas)."
- Shafiyur Rahman Al-Mubarak
Furi dalam Ithaful Kiram hal. 417-418 menerangkan:
"Hadits ini umum mencakup semua kepemimpinan dalam suatu pemerintahan
sampai jabatan terkecil sekalipun, walaupun hadits ini disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala sampai berita bahwa
penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin (kepala negara)
mereka..."
- Abdullah bin Abdurrahman
Al-Bassam dalam Taudlihul Ahkam 6/142 juga menjelaskan:
"Hadits ini secara tegas menyatakan tidak sahnya kepemimpinan seorang
wanita, dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang wanita sebagai
pemimpin tidak akan bahagia, baik dalam urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Ini
adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah tiga imam madzhab di kalangan
Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Malik, Asy-Syafi'i dan Ahmad."
- Sementara Abu Hanifah
berpendapat boleh mengangkat wanita sebagai pemimpin dalam masalah hukum
kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini bertentangan dengan nash dalil dan
fitrah Rabbani.... "Sekalipun dia (wanita) memiliki kekuatan dan mendapat
dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan bahagia / jaya dalam urusan
duniawi maupun urusan agama. Wallahul musta'an." (Lihat kembali
ucapan ulama tentang Abu Hanifah pada edisi 29 majalah Salafy)
Demikian penjelasan para ulama
jaman dahulu maupun sekarang tentang hadits ini atau permasalahan yang dibahas
dalam hadits ini. Semuanya menjelaskan tidak bolehnya wanita menjadi pemimpin.
Hujjah mereka kita susun sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala yang tersebut dalam surat An-Nisa 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka...." (An-Nisa: 34)
Silakan lihat pembahasan ini
dalam rubrik Tafsir edisi kali ini.
2. Sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang sedang kita bahas kali ini berikut penjelasan
ulama tentangnya.
3. Ijma', Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, para khalifah beliau dan generasi setelah mereka sampai
sekarang ini tidak pernah mengangkat wanita sebagai pemimpin. Ini menunjukkan
adanya kesepakatan di kalangan mereka (ijma'). Ijma' (kesepakatan
ulama) merupakan argumentasi yang signifikan karena Allah tidak akan
mengumpulkan umat ini di atas kesalahan.
Kalau ada yang
mengatakan bahwa kaum wanita pada waktu itu tidak ada yang menjabat sebagai
pemimpin karena kondisi sosial dan kedudukan wanita yang sangat terpuruk
seperti pernyataan Dr. Alwi Shihab dalam tulisan beliau yang berjudul
"Memperhatikan Prinsip daripada Label" yang dimuat di Jawa Pos
Selasa 17 November 1998, maka kita dapatkan:
1. Kita semua
sepakat bahwa syariat yang Allah tetapkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam telah sempurna. Dijelaskan Rasul melalui sunahnya dan
telah dipraktekkan beliau bersama para shahabatnya radliyallahu 'anhum.
Apa yang
dikerjakan Rasul dan para shahabatnya adalah yang terbaik dan membawa kebaikan
dunia dan akhirat dan karena itu kita juga ikut mengerjakannya. Apa yang
ditinggalkan Rasul dan para shahabatnya (padahal beliau mampu dan mungkin
mengerjakannya) adalah jelek, tidak membawa kebaikan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dan kita pun harus pula meninggalkannya.
Apabila Rasul
memberitahukan tentang suatu perbuatan / amalan yang membawa kepada kebahagiaan
dan kejayaan, maka kita harus meyakini kebenaran berita tersebut dan kita
berupaya melaksanakan amalan tersebut.
Dan apabila
Rasul memberitahukan tentang suatu amalan yang membawa kepada ketidakbahagiaan
atau ketidakjayaan, maka kita harus membenarkannya dan kita diperintah untuk
menjauhi / meninggalkan hal tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia
dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkannya...." (Al-Hasyr: 7)
2. Kita semua
meyakini bahwa syariat Allah adalah adil, sesuai dengan fitrah dan dapat
diterapkan di setiap tempat dan masa. Apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan,
itulah yang terbaik bagi umat ini dan apa yang Allah dan Rasul-Nya larang,
itulah yang akan membawa kesengsaraan dan kebinasaan umat ini. Ketetapan ini
berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki maupun wanita, bangsa Arab maupun
non-Arab.
3. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya yang masyhur telah memberitakan:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم...
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) kemudian
yang setelah mereka (tabi'in), kemudian yang setelah mereka (tabi'ut
tabi'in)...." (Muttafaqun 'alaihi, lihat Al-Misykah
no. 3767)
Kondisi sosial
suatu masyarakat tidak bisa dinilai dengan materi semata, karena kita melihat
kenyataan adanya suatu negeri yang baik dari segi materi namun rusak dari segi
moral dan keagamaannya sehingga tindak kriminal dan berbagai problem masyarakat
menjamur di negeri tersebut. Kebahagiaan dan kejayaan negeri itupun bersifat
semu.
Maka
sebaik-baik kondisi sosial suatu masyarakat yang pernah ada di dunia ini adalah
generasi Nabi beserta para shahabatnya, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
4. Sejarah
membuktikan, pada jaman jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, derajat, harkat, dan martabat kaum wanita diinjak-injak.
Mereka dihinakan dan dilecehkan. Hak-hak mereka tidak dipenuhi. Bayi wanita
dikubur hidup-hidup dan mereka hanya dijadikan sebagai pemuas hawa nafsu birahi
kaum lelaki. Namun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, dengan syariatnya Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengangkat
derajat kaum wanita, hak-hak mereka dipenuhi, kehormatan mereka dilindungi dan
Allah Ta'ala memberikan kepada mereka suatu jabatan mulia sesuai dengan fitrah
kewanitaan mereka dan yang membesarkan mereka hingga menjadi generasi Rabbani.
Apabila kaum
wanita diberi suatu jabatan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya,
bahkan jabatan itu akan membuat mereka kembali kepada jaman jahiliyah, maka
berarti hak-hak mereka terinjak-injak, tak terpenuhi dan menentang misi Islam
itu sendiri.
Maka
pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab di atas justru mewakili misi orang-orang
kafir yang berupaya merusak kehidupan dunia ini dengan mengembalikan kaum
wanita seperti jaman jahiliyah dahulu, dipoles dengan nama emansipasi wanita,
kebebasan berpikir (tidak jumud) dan berbagai label lainnya.
Pernyataan di
atas justru menunjukkan kejumudan cara berpikir Dr. Alwi Shihab yang notabene
meniru pemikiran picik rasionalis sesat baik dahulu maupun sekarang. Wallahul
musta'an.
4. Kaum wanita adalah aurat,
mereka diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk tinggal di rumah demi menjaga
kehormatan dan haknya. Mereka tidak boleh keluar rumah ke tempat perkumpulan
lelaki kecuali karena terpaksa dan harus dengan mahram. Allah Ta'ala
memerintahkan dengan firman-Nya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى
"Dan
hendaklah kaum (istri-istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...."
(Al-Ahzab: 33)
5. Kaum wanita adalah makhluk
yang kurang dari segi akal dan agamanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ
عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرِّجَالِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ،
قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ:
أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفَ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ:
بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ نُقْصَانُ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ
وَلَمْ تَصُم؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا ﴿رواه البخاري ٣٠٤
ومسلم ٧٩﴾
"Aku tidak
pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang mampu meluluhkan hati
seorang laki-laki yang tegas kecuali kalian (kaum wanita)." Mereka (para
shahabat wanita) bertanya: "Apa yang menyebabkan kurangnya agama dan akal
kami, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Bukankah persaksian wanita
seperti setengah persaksian seorang lelaki?" Mereka menjawab:
"Ya." Beliau menjawab: "Maka itulah yang dimaksud kurang
akalnya. Bukankah apabila wanita haid, ia tidak shalat dan tidak puasa?"
Mereka menjawab: "Ya." Beliau bersabda: "Itulah yang dimaksud
kurang agamanya." (HSR. Bukhari 364 dan Muslim 79)
6. Syarat utama yang
menentukan posisi jabatan kepala negara adalah gender dan para ulama telah
sepakat dalam hal ini (yaitu laki-laki), bukan semata-mata kemampuannya,
kesediannya ataupun dukungan masyarakatnya.
Syubhat dan Bantahannya
Muhammad Al-Ghazali dalam
kitabnya As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqhi wal Hadits
hal. 48-50 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Studi
Kritis terhadap Hadits menyatakan bahwa hadits di atas tidak
dimaksudkan sebagai prinsip Islam yang mewajibkan pria menjadi kepala negara
karena akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur`an di surat An-Naml yang
memuji kebijakan dan kearifan kerajaan Saba` (Ratu Sheba yang bernama Balqis).
Dengan demikian, hadits di atas tidak dapat dijadikan sumber hukum. Pernyataan
ini juga dinukil dan dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab dalam tulisannya yang
dimuat di Jawa Pos Selasa 17 November 1998.
Jawaban dari syubhat di atas
sebagai berikut:
1. Kita mempunyai prinsip bahwa Kalamullah
(Al-Qur`an) selamanya tidak bertentangan satu sama lain. Demikian pula kita
meyakini bahwa sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
shahih, tidak akan bertentangan dengan Kalamullah, bahkan sebagai
penjelas dan penerangnya. Allah Ta'ala berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ
اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an?
Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisa: 82)
Bila kita mendapati adanya
pertentangan dalam Al-Qur`an, maka kita harus membawa masing-masing ayat kepada
makna yang sesuai dengannya (dikompromikan) dan kita tidak boleh membuang atau
menolak sebagian ayat dan menerima sebagian yang lain, karena perbuatan
tersebut adalah akhlak musyrikin. Allah berfirman:
الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْءَانَ
عِضِينَ
"(Yaitu)
orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur`an itu terbagi-bagi (yakni menerima
sebagian dan menolak sebagian yang lain)." (Al-Hijr: 91)
2. Imam Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul
Ma'ani 10/185 menjelaskan firman Allah dalam surat An-Naml 23:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً
تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya
aku menjumpai seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan dia dianugerahi
segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar."
Beliau menyatakan: "Ayat ini
tidak menunjukkan kebolehan seorang wanita sebagai ratu (pemimpin negara) dan
tidak diperbolehkan berhujjah dengan perbuatan kaum kafir dalam permasalahan
(kepemimpinan) ini. Dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas[3]
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala menerima berita bahwa
penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu, beliau bersabda: (hadits
tersebut di atas)."
Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya Ma'alimut
Tanzil 3/414 juga menjelaskan ayat di atas dengan membawakan riwayat
hadits tersebut.
Bahkan kalaupun terjadi pada masa
itu orang-orang dijajah/diperintah seorang wanita maka itu adalah syariat orang
sebelum kita contoh seperti ini misalnya; sujudnya keluarga Yusuf kepada nabi
Yusuf 'alaihissalam. Dengan penjelasan para ulama yang telah tersebut di atas
dan terbantahnya berbagai syubhat sekitar masalah ini, maka jelas bagi kita
bahwa kaum wanita tidak boleh menjadi kepala negara. Inilah prinsip Islam yang
harus diyakini para pemeluknya.
Dan kita menasehatkan kepada kaum
muslimin dan muslimat agar mereka mengetahui (mengilmui) prinsip agama mereka
supaya dengan mantap memeluk dan meyakininya dan jangan sampai mereka
terombang-ambing oleh "teriakan" orang-orang yang berupaya
mati-matian membikin makar untuk menghancurkan kehidupan bangsa dan negara
mereka, sekalipun dipoles dengan label "reformasi" dan
"perjuangan demokrasi".
Mudah-mudahan Allah Ta'ala
menyelamatkan bangsa dan masyarakat kita dari kehancuran dan kebinasaan dan
mudah-mudahan Allah Ta'ala mengokohkan hati, iman dan takwa kita supaya kita
tetap di atas al-haq (kebenaran) di dalam mensikapi kondisi yang terjadi di
negara kita.
Ya Allah, perbaikilah keadaan
pemerintah kami. Berilah taufiq dan hidayah kepada mereka. Anugerahkan kepada
mereka kesehatan dan keadilan dalam memimpin kami dan jadikanlah teman akrab
mereka orang-orang yang shalih yang Engkau ridlai. Amin ya mujibas sailin.
DAFTAR REFERENSI
1. Adlwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi, cet. Darul
Kutub Al-Ilmiyyah, takhrij Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi.
2. Al-Imamatul 'Udhma, Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, cet.
Dar Thayyibah.
3. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cet. Darul Fikr.
4. Al-Mustadrak, Al-Hakim An-Naisaburi, cet. Darul Kutub
Al-Ilmiyah, Dirasah wa tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha.
5. Aridlatul Ahwadzi, Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki, cet.
Dar Ihyaut Turats.
6. Al-Qur`anul Karim.
7. As-Sailul Jarar, Imam Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub
Al-Ilmiyyah, tahqiq Mahmud Ibrahim Zayid.
8. As-Sunanul Kubra, Imam Al-Baihaqi, cet. Darul Kutub
Ilmiyyah, tahqiq Muhammad Abdul Qadir 'Atha.
9. Fathul Bari, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cet. Dar
Ad-Dayyan At-Turats.
10. Faidlul
Qadir, Al-'Allamah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi, cet. Darul Kutub
Al-Ilmiyyah, tashshih Ahmad Abdus Salam.
11. Irwaul
Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. Al-Maktab Al-Islami.
12. Irsyadus
Sari, Al-Qasthalani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Muhammad
Abdul Aziz Al-Khalidi.
13. Ithaful
Kiram, Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi, cet. Darul Faiha dan Dar
As-Salam.
14. Nailul
Authar, Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Muhammad
Salim Hasyim.
15. Ma'alimut
Tanzil, Al-Baghawi, cet. Darul Ma'rifah, tahqiq Khalid Abdurrahman
Al-'Ukk dan Marwan Suwar.
16. Misykatul
Mashabih, Al-Khatib At-Tibrizi, cet. Al-Maktab Al-Islami, tahqiq
Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
17. Ruhul
Ma'ani, Mahmud Al-Alusi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Ali
Abdul Bari Athiyah.
18. Shahih
Jamius Shaghir, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
19. Shahih
Sunan At-Tirmidzi, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
20. Shahih
Sunan An-Nasa`i, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
21. Subulus
Salam, Ash-Shan'ani, cet. Darul Fikr, tahqiq Muhammad Abdul Qadir
'Atha`.
22. Syarhus
Sunnah, Al-Baghawi, cet. Maktabah At-Tijariyah, tahqiq Said Al-Lahham.
23. Taisirul
Karimir Rahman, Nashir As-Sa'di, cet. Darul Fikr, muraja'ah 'Alaus Said.
24. Taudlihul
Ahkam, Abdullah Al-Bassam.
Sumber: Majalah
Salafy rubrik Hadits edisi XXX/1420 H/1999 M
[1] Orang yang suka
menyamarkan perawi hadits, tidak diterima haditsnya kecuali dia mengatakan
dengan jelas bahwa dia mendengar sendiri secara langsung dari perawinya,
misalnya dengan lafadh: "Berkata kepadaku", "aku mendengar
darinya", atau "dia mengabarkan kepadaku". Adapun jika dia
mengatakan dengan tidak jelas seperti: "dari fulan", belum tentu ia
mendengar darinya secara langsung. Bisa jadi melalui perawi yang ia sembunyikan
karena dia seorang mudallis. Ed.
[2] Lemah dalam
menganalisa suatu persoalan.
[3] Yang terdapat dalam
Shahih Bukhari bukan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu,
namun dari Abi Bakrah radliyallahu 'anhu. Mudah-mudahan Allah mengampuni
kesalahan beliau (Al-Alusi) rahimahullah. (pent).
zaptosucces · 489 weeks ago
alat bantu sex · 477 weeks ago
vimax · 460 weeks ago
duniajilbabindonesia 69p · 433 weeks ago